Senin, 30 September 2013

@ja dumeh...

Aja dumeh dadi panguwasa banjur sia-sia marang sapadha-padha.
Aja dumeh kanggonan drajat lan pangkat banjur sawenang-wenang marang liyan.
Aja dumeh katitipan bandha donya banjur ora ngajeni marang tanggane.
Aja dumeh katempelan ngelmu agal alus banjur nglirwakake mring sasoma.
Aja dumeh rumangsa sugih ngelmu agama banjur ngremehke seni lan budaya.
Aja dumeh bagus rupane banjur cidra marang janjine.
Manungsa amung sak derma hanglakoni.
Kabeh mau amung titipane Allah Kang Murbeng Dumadi.Yen wis titi mangsane langsung ilang sak nalika bali marang Kang Kuwasa. Kamangka uripe manungsa iku amung sak kedheping netra.

Minggu, 29 September 2013

IRI dan SOMBONG

Iri adalah merasa kalah terhadap orang lain, dan sombong adalah merasa menang terhadap orang lain. Iri dan sombong inilah yang menyebabkan orang berusaha keras, mati-matian, berjungkir balik, untuk memperoleh semat (kekayaan), derajat (kedudukan) dan kramat (kekuasaan). Hatinya berkata: “Sebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya agar menjadi kaya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang ini; agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan kuharus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu, dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti orang itu, dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat (kekuasaan) yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu. Jangan sampai lemah dan ditaklukkan orang ini.” Begitu hebat usahanya, hingga ia merasa “lebih baik mati jika tidak tercapai” --------- Perasaan “lebih baik mati jika tidak tercapai” itu bila sering terlintas dalam pikiran, dapat membangunkan tekad yang aneh-aneh dan bertapa yang aneh-aneh. Orang yang sedang dihinggapi iri-sombong ini cenderung mencari guru-guru atau dukun-dukun. Pada guru atau dukun itu dimintanya petunjuk: “Bagaimana kyai, hidupku ini mengapa senantiasa susah. Apakah memang nasibku harus dibenci orang? Bagaimana baiknya?” Jika guru atau dukun itu mengatakan: “Sanggupkah anda bertapa secara ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi bila dikurniakan, tentu nasibmu akan lebih baik.” Makin gelap pikirannya namun karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupinya: “Baiklah saya bersedia ditanam, asal dapat kurnia. Andaikata aku gagal dan mati, itu pun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi buah ejekan tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek.” Bilamana benar-benar digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke kanan ke kiri, tiba-tiba ia merasa ngeri: “Kyai, jika penguburan diriku ditangguhkan saja sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?” ------------- Bila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia itu sama, teranglah pandangannya. Kemudian ia tahu bahwa orang yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat bernapas. Mengingat bahwa jika dibungkam selama dua menit saja, orang sudah kehabisan napas, bagaimanakah bila ditanam empat puluh hari? ------------- Idam-idaman orang yang iri hati atau sombong ialah asal dapat melebihi orang lain dalam segala hal. Dalam hal makanan, pakaian, perumahan, keluarga, anak-anak dan sebagainya, ia ingin melebihi orang lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin menyaingi atau melebihi orang lain lagi. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain bersaingan sehingga semuanya jatuh ke bawah. --------------- Bila dalam usahanya untuk melampaui orang lain ia sering tergelincir bahkan ia justru dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya, “Baik, sekalipun aku kalah asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka senanglah hatiku.” Sedangkan tetangganya pun berusaha menyusahkan orang lain. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah saling menyusahkan.

Jumat, 27 September 2013

"BEJA SAWETAH" Miturut Ki Ageng Suryomentaram

Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa “jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”.---------- Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.----------------------------- Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman.Di dalam mencari pinjaman itu ia merasa: “Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya”. Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya.”Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali.” Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.------------------------ Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: “Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku.” Dibayangkannya: “Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan.” Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.----------------------- Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu tidak akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.------------------------------ Yang menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat Ki Ageng Suryomentaram 9tercapai dan hal ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat berlangsung terus-menerus.----------------------------------------------- Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata hatinya: “Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia, yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke mana-mana.” Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan bahagia, melainkan bergembira sebentar kemudian susah lagi. Oleh karena keinginannya itu mulur, maka ia merasa: “Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun harus baru.” Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka gagallah keinginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlangsung terus menerus. Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: “Sekarang sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus baru pula?” ----------------- Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi: “Sekarang semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja. Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru.” Bila nanti memperoleh isteri baru, pasti mulur lagi: “Anaknya pun harus ada yang baru karena mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?” Demikianlah keinginan itu mulur sehingga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap adanya. ----------------- Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat. Meneari semat ialah mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat ialah mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji. ------------------ Misalnya orang mencari semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap. Rasa hatinya berkata: “Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang juga rugi.” Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan karena keinginannya mulur sebagai berikut: “Ternyata penghasilan sepuluh rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh ]ima rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia.” Nanti bila sudah memperoleh dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. “Kalau aku hanya menerima dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia. Bahkan hal itu akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon. Hanya jika aku berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia.” Nanti bila ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu rupiah, berjuta-juta rupiah, masih kurang terus. Demikianlah keinginan itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya. --------------------- Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang sudah menjadi asisten wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin menjadi wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi raja dari semua raja. Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata. “Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia, karena memerintah manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitannya.” “Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu, serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap. --------------------- Demikian pula dalam usaha memperoleh kramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian Ki Ageng Suryomentaram 10 susah lagi, karena mulurnya keinginannya. Hatinya berkata: “Kalau hanya dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan percaya, segan, takut kepadaku dan akan memujaku.” la akan berusaha ke sana sini untuk dapat menghidupkan orang mati. PadahaI sekolahnya untuk mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat menghidupkan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. “Celakalah aku nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain. Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan dapat melayang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina, tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang untuk bekalnya.” Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi. Hatinya berkata “Susahlah aku bila sukma yang acapkali dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun manakala aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia. Aku akan dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah tercapai”. ----------------------------- Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya. Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia peroleh, maka susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan), kramat (kekuasaanl, apabila sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifatnya. ------------------------------------------------------------------------------- Demikian pula rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalam jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap. --------------------------------------- Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya. --------------------------------------- Misalnya orang lapar ingin makan, tentu dipiiihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging, telur dan sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret, sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam pun tidak diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah lidahnya. --------------------------------------- Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan, kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya. Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali. Oleh karena keinginannya mungkret, maka rasanya, “Walaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya bolehlah” Jika yang cantik pun tidak diperolehnya, tentu keinginannya mungkret lagi: “Walaupun tidak cantik asal saja masih perawan” Bila ini pun tidak berhasil, Ki Ageng Suryomentaram 11mungkret lagi keinginannya “Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak.” Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginannya mungkret lagi: “Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat” Bila keinginan ini pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: “Walaupun cacad, asalkan berwujud orang” Padahal mencari isteri dengan syarat asal berwujud orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab itulah penderita-penderita cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap. ---------------------------------------- Jadi jelaslah bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai, maka akan tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu bila mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret, tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah, mungkret lagi. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda sehingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.

Kamis, 26 September 2013

@ AJIWUNDRI

Aji Wundri adalah ajian yang diberikan Dewi Sinta kepada Hanoman untuk memerangi Dasamuka si angkaramurka. Sesungguhnya Aji Wundri adalah pengejawantahan kekuatan seorang Ibu yang menghangatkan, yang mencintai kehidupan, tulus, perkasa dan sabar tak terbatas. Hanya orang-orang yang merasa lemah tak berdaya seperti layaknya seorang bayi yang dapat meyerap Aji Wundri. ------------------------- Diceritakan bahwa kekuatan aji wundri ini mampu mengangkat tujuh gunung seribu gajah. Kata tujuh dalam budaya arabiah (Sunan Kalijaga ngansu kawruh saking tanah mekah) menunjukkan makna kias "banyak".Sedangkan dalam budaya Jawa, untuk menunjukkan jumlah yang sangat banyak sering digunakan kata seribu, misalnya "bala sekethi" atau seribu tentara. Jadi dapat diartikan bahwa Aji Wundri mampu mengangkat banyak gunung dan gajah bahkan gunung "Swela Giri" pun terangkat ketika Sang Hanoman harus mengalahkan Aji Pancasona milik Rahwana. Aji Wundri mengalahkan aji Pancasona merupakan simbol kerendahan hati yang mampu mengalahkna lima pesona ( panca = lima, sona = pesona), yaitu pesona akan harta, pesona akan tahta, pesona terhadap wanita, pesona terhadap pusaka/ kekuatan, pesona terhadap turangga/kendaraan dan pesona terhadap kukila/ perhiasan. ----------------- Dalam istilah Jawa, kata Wundri dapat juga berarti kubahnya Masjid.kalau kita melihat kubah masjid yang mirip gunungan, itulah yang dinamakan wundri. Masjid adalah simbol segala kebaikan,di masjid itu yang ada adalah yang baik-baik saja, jadi dapat diartikan juga bahwa Wundri merupakan puncaknya segala kebaikan.

Rabu, 25 September 2013

@ Sura Dira Jayaningrat

“Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti” atau yang bahasa Jawa kunonya “Sura sudira jayanikang rat, suh brastha tekaping ulah dharmastuti” bahwasanya, betapapun hebatnya seseorang, yang sakti mandraguna kebal dari segala senjata, namun manakala dalam lembaran hidupnya selalu dilumuri oleh ulah tingkah yang adigang-adigung-adiguna (mengandalkan kekuatan maupun kekuasaannya sehingga bisa berbuat sewenang-wenang dengan serta merta aji mumpungnya, maka pada saatnya niscayalah akan jatuh tersungkur dan lebur oleh ulah pakarti luhur (tindak perbuatan yang mengutamakan berlakunya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan beradab guna menuju kearah terciptanya suatu masyarakat sejahtera lahir maupun batin, sebagai yang dimaksudkan dengan istilah pangastuti ataupun dharmastuti). Nilai-nilai filasfat timur yang pada hakekatnya sudah menjelma menjadi tata nilai kehidupan, dimana setiap kejahatan pasti akan dapat dihancurkan oleh kebajikan, oleh ulah pakarti yang baik, oleh berlakunya nilai-nilai keadilan dan kebenaran. --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- Sura dira jayaningrah dapat berarti juga segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Contohnya kisah yang dialami Oleh Nyai Pamekas : Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep) Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Allah yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan.

@Sluman Slumun Slamet

Terdapat sebuah falsafah jawa yang sering kita dengar diucapkan oleh para orang tua di Jawa dan patut kita renungkan berkaitan dengan falsafah untuk kehidupan di dunia. Falsafah tersebut adalah “Sluman Slumun Slamet”. Ada yang menarik dari kalimat tersebut. Dari kalimat tersebut ada sebuah makna dalam yang patut kita pahami untuk kemudian kita rasakan sebelum kita amalkan. Sebenarnya maknanya bagaimana? Inilah yang perlu kita diskusikan bersama!. Orang jawa bilang, hidup ini yang penting slamet, sehingga ketika kita harus menjalani hidup dan kehidupan tentu ada tujuan yang sepantasnya untuk diraih. Tujuan tersebut umumnya adalah selamat di dunia dan di akherat. Kata “Selamat” sama dengan “Slamet”, Islam sendiri menurut terminologi bahasa juga bermakna “Selamat”. Jadi sangat pas kalau orang-orang Jawa dulu memunculkan falsafah di atas agar kelak kita bisa menggunakan pedoman tersebut untuk menjalani kehidupan dengan selamat. Untuk mencapai tujuan slamet maka haruslah memiliki ilmu "Sluman" dan sifat Slumun. Sluman berasal dari kalimat Sulaiman. Kalau ingin slamet lihatlah bagaimana “lakon hidup” Kanjeng Nabi Sulaiman. Ketika menyebut Nabi Sulaiman, (orang jawa menyebut istilah Sulaiman dengan Sluman). Seperti kita ketahui Nabi Sulaiman adalah seorang Rosul yang diberi kelebihan berbagai hal diantaranya adalah dianugerahi kekayaan, menjadi penguasa pada suatu negeri, dan diberi mukjizat mampu berbicara dengan semua makhluk hidup, baik hewan, tumbuh-tumbuhan, jin, dll. Akan tetapi dengan kelebihan tersebut Kanjeng Nabi Sulaiman tidak takabur, sombong atau sewenang-wenang, justru beliau malah selalu mensyukuri, rendah hati dan adil dalam memerintah baik sesama manusia maupun dengan makluk yang lain. Slumun berasal dari kata "As Salamun" yang berarti saling mendoakan. Sebagai sesama manusia harus selalu saling menyayangi dan mengasihi. minimal saling mendoakan agar selalu diberi keselamatan. Dari pengertian di atas tentu kita harus cermat dan cerdas dalam memaknai pelajaran tersebut. Sehingga bila kita kaitkan dengan falsafah “Sluman slumun slamet″ tentu ada konsekuensinya, yaitu dalam setiap langkah pada kehidupan jangan sampai lupa untuk mendasarkan setiap sikap dan perbuatan kita pada tata krama dan adabiyah, sehingga dengan sluman slumun Insya Allah kita akan tetap selamat!

Minggu, 22 September 2013

@Ngono ya Ngono...

ngono ya ngono ning aja ngono. Jaman sekarang, kalimat itu sering dijadikan lucu-lucuan. Tapi sebetulnya mengandung makna yang dalam. Sayangnya kalimat ngono ya ngono, ning aja ngono kadang terlupakan maknanya. Bahkan mungkin ada yang menganggapnya kalimat sampah. Tapi jika diteropong lagi, kalimat itu mengandung nilai filosofis tinggi. Secara harafiah, “ngono” artinya begitu. Jadi ngono ya ngono ning aja ngono, artinya kurang lebih, “Begitu ya begitu, tapi ya jangan begitu!”. Ini baru arti harafiahnya saja. Kalimat itu biasanya diucapkan untuk mengingatkan seseorang. Jika ada orang yang perilakunya sulit ditolerir, maka biasanya diingatkan, “Begitu ya begitu (mungkin kamu betul), tapi ya jangan begitu (apa tidak ada cara yang lebih baik?)”. Ini baru arti tersiratnya saja. Belum makna filosofisnya. Perilaku saling mengingatkan tentu tidak dalam kultur Jawa saja. Dalam kultur “ngana” (baca: Menado) pun, saling mengingatkan antarsesama ini juga dirangkum dalam peribahasa indah. Si Tou Timoi Tumou Tau. artinya “manusia hidup untuk memanusiakan orang lain”. Pada dasarnya motto ini sinkron dengan prinsip “mengingatkan sesama” sebagai inti dari pepatah Jawa, ngono ya ngono ning aja ngono. Prinsip saling mengingatkan juga terkandung dalam idiom dialek Minahasa, baku beking pande (saling bikin pinter satu sama lain). Ini bukan diartikan secara dangkal, bahwa seseorang menepuk dada merasa lebih pandai dan ingin “sok mengajari”. Baku beking pande mengandung makna “saling”. Kalau ada yang kurang dan khilaf, ya wajar saja jika manusia saling mengingatkan. Tanpa perlu merasa tersinggung, gara-gara ada yang merasa digurui dan menggurui. Kata orang Jawa, tanpa perlu ada yang dituduh keminter atau mau minteri.

Kamis, 19 September 2013

@Sastra Jendrayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra ya sastra harjendra adalah sastra/ilmu yang bersifat rahasia/gaib. Rahasia, karena pada mulanya hanya diwedarkan hanya kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan yang terbatas secara lisan. Gaib, karena ilmu ini diajarkan oleh Guru Sejati lewat Rasa Sejati. Hayuningrat/yuningrat berasal dari kata hayu/rahayu – selamat dan ing rat yang berarti didunia. Pangruwating Diyu, artinya meruwat, meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat diyu, raksasa, angkara, durjana. Maka Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu maknanya adalah ilmu rahasia keselamatan untuk meruwat sifat-sifat angkara didunia ini, baik dunia mikro dan makro. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah merupakan Ilmu yang berasal dari Allah Yang Maha Esa, yang dapat menyelamatkan segala sesuatu. Maka, tiada kawruh/pengetahuan lain lagi yang dapat digapai oleh manusia, yang lebih dalam dan lebih luas melebihi Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebab ini adalah merupakan sastra adi luhung atau ilmu luhur yang merupakan ujung akhir dari segala pengetahuan/kawruh kasampurnan sampai saat ini. Makna/kawruh Yang Terkandung Dalam Sandi Sastra Kalau diurut dari atas kebawah, dari Ha sampai Nga, mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luas tentang rahasia gumelaring dumadi, atau pambabaring titah, atau rahasia jati diri, asal-usul/ terjadinya manusia. Yaitu terciptanya manusia dari Nur, Cahaya Allah yang merasuk busana anasir-anasir sebagai wadah, yaitu badan jasmani halusan dan badan jasmani kasar. Apabila diurut terbalik, dari Nga naik sampai Ha, maka inilah “rahasia” jalan rahayu, ya pangruwating diyu, untuk menuju kesempurnaan hidup kembali kepada sangkan paraning dumadi. Kembali ke asal mula, ke Alam Sejati mencapai persatuan dengan Allah Yang Maha Agung. Jadi, dari Nga sampai Ha, juga merupakan urut-urutan panembah, dimulai dari badan jasmani kasar, dimana titik berat kesadaran kemudian harus dialihkan satu tahap demi tahap kearah asal-mula, ke Alam Sejati. Syarat mutlak agar kita dapat menyadari/ memahami sesuatu hal, adalah membawa kesadaran kita bergerak masuk berada disitu. Fokus/titik berat kesadaran dapat berpindah. Didalam keseharian hidup, kesadaran kita banyak terfokus dialam badan kasar, alam anasir, diluar Alam Sejati. Maka, satu-persatu tahap dari Nga, Tha, Ba dan seterusnya sampai Nga haruslah dilewati untuk memindahkan tingkat kesadaran dari alam kasar/fana/maya menuju Alam Sejati. Sedangkan tahapan pertama yang harus dilalui yaitu Nga, sedemikian rumit dan sulitnya, maka dapat dibayangkan tidak begitu mudah untuk dapat memindahkan titik berat/focus kesadaran ke Alam Sejati. Namun itulah intinya perjalanan spiritual yang harus kita tempuh. Secara “garis besar”, Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga kalau diuraikan adalah sebagai berikut (garis besar saja, karena detailnya begitu luas/multi dimensi tak terkira penuh dengan kawruh kasunyatan sejati yang tak habis diuraikan dalam bahasa kewadagan apalagi tulisan). Dan dibawah ini adalah garis besar uraian dari sisi spiritualnya guna dipakai sebagai “mile stones” dalam menempuh jalan rahayu untuk dapat kembali ke ” SANGKAN PARANING DUMADI “. 1. Ha – Huripku Cahyaning Allah (Hidupku adalah Cahaya Allah). Sebelum ada apa-apa, sebelum alam semesta beserta isinya ini tercipta, adalah Sang Hidup ya Allah ya Ingsun yang ada dialam awung-uwung yang tiada awal dan akhir, yaitu alam/kahanan Allah yang masih rahasia/ Alam Sejati. Itulah Kerajaan Allah ya Ingsun. Sebelum alam semesta tercipta, Allah berkehendak menurunkan Roh Suci, ya Cahaya Allah. Ya Cahaya Allah itulah Hidupku, Hidup kita yang Maha Suci. Alam Sejati adalah alam yang tidak mengandung anasir-anasir (unsur-unsur hawa, api, air dan bumi/tanah) yang berada didalam badan manusia, dimana Cahaya Allah bersemayam. Alam Sejati diselubungi/menyelubungi dua alam beranasir yaitu halus dan kasar. Dapat pula diartikan, badan manusia berada didalam Alam Sejati. 2. Na – Nur Hurip Cahya wewayangan (Nur Hidup Cahya yang membayang). Hidup merupakan kandang Nur yang memancarkan Cahaya Kehidupan yang membayang yang merupakan rahasia Allah. Kehidupan yang Maha Mulia. Tri Tunggal Mahasuci berada dipusat Hidup. Ya itulah Kerajaan Allah. Sang Tritunggal adalah Allah ta’ala/Gusti Allah/Pengeran/Suksma Kawekas, Ingsun/Rasul Sejati/Guru Sejati/Suksma Sejati/Kristus dan Roh Suci/Nur Pepanjer/Nur Muhammad. Diuraikan diatas, bahwa ketiga alam yaitu badan kasar, badan halus dan Alam Sejati, mengambil ruang didalam badan jasmani kasar secara bersamaan. Namun kebanyakan kita manusia tidak atau belum menyadari akan Alam Sejati, atau samar-samar. Nur Hidup bagaikan cahaya yang samar membayang. 3. Ca – Cipta rasa karsa kwasa (Cipta rasa karsa kuasa). Nur Hidup memberi daya kepada Rasa/Rahsa Jati/Sir, artinya Cahaya/Nur/Roh Suci menghidupkan Rasa/Rahsa Jati/Sir yang merupakan sumber kuasa. Maka bersifat Maha Wisesa. Rasa/Rahsa Jati/Sir menghidupkan roh/suksma yang mewujudkan adanya cipta. Maka bersifat Maha Kuasa. 4. Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh (Rasa kuasa akan adanya satu-satunya wujud kendali/yang memerintah). Rasa Sejati yang memberi daya hidup roh/suksma sehingga roh/suksma dapat menguasai nafsu (sedulur lima), sehingga terjadilah sifat Maha Tinggi. 5. Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat (Karsa kuasa tanpa didasari oleh kehendak dan niat). Yang mendasari adanya kuasa agung adalah kasih yang tulus, tanpa kehendak, tanpa niat. Pamrihnya hanyalah terciptanya kasih yang berkuasa memayu hayuning jagad kecil dan jagad agung. 6. Da – Dumadi kang kinarti (Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna). Ini berkaitan dengan Karsa Allah menciptakan manusia, makhluk lain dan alam semesta beserta isinya yang sesuai dengan Rencana Allah. 7. Ta – Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat (Tetap berada dalam zat yang tanpa niat). Dat atau zat tanpa bertempat tinggal, yang merupakan awal mula adalah dat Yang Maha Suci yang bersifat esa, langgeng dan eneng. Hidup sejati kita menyatu dengan dat, ada didalam dat. Maka didalam kehidupan saat ini agar selalu eksis selaras dengan dat Yang Maha Suci, situasi tanpa niat atau mati sajroning urip (mati didalam hidup) dengan kata lain hidup didalam kematian, seyogyanya selalu diupayakan. 8. Sa – Sipat hana kang tanpa wiwit (Sifat ada tanpa awal). Ini adalah sifat Sang Hidup, Allah, di Alam Sejati, tiada awal dan tiada akhir, “AKUlah alpha dan omega”. Demikian pula “hidup” sejati nya manusia sudah ada sebelumnya, tiada awal mula, bersatu di Alam Sejati yang langgeng, yang merupakan Kerajaan Allah, ya Sangkan Paraning Dumadi. 9. Wa – Wujud hana tan kena kinira (Wujud ada tiada dapat diuraikan/dijelaskan). Ada nya wujud namun tiada dapat diuraikan dan dijelaskan. Ini adalah menerangkan keadaan Allah, yang sangat serba samar, tiada rupa, tiada bersuara, bukan lelaki bukan perempuan bukan waria, tiada terlihat, tiada bertempat, dijamah disentuh tiada dapat. Sebelum adanya dunia dan akherat, yang ada adalah Hidup Kita. 10. La – Lali eling wewatesane (Lupa dan Ingat adalah batasannya). Untuk dapat selalu berada didalam jalan hayu/rahayu maka haruslah selalu eling/ingat akan sangkan paraning dumadi dan eling/ingat akan Yang Menitahkan/ Sumber Hidup. Selalu ingat akan tata laku setiap tindak tanduk yang dijalankannya agar selaras dengan Karsa Allah. Lali/lupa akan menjauhkan dari sangkan paraning dumadi dan menjerumuskan kealam kegelapan. Contoh lupa adalah bagaikan Begawan Wisrawa dalam menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi. Tak tahan akan goda/ tak kuasa ngracut, mengendalikan nafsu-nafsu keempat saudara, maka sang Begawan kesengsem birahi kepada Dewi Sukesi yang harusnya menjadi menantunya. 11. Pa – Papan kang tanpa kiblat (Papan tak berkiblat). Ini adalah menerangkan Alam Sejati, ya Kerajaan Allah yang tiada dapat diterangkan bagaimana dan dimana orientasinya, bagaikan papan yang tiada utara-selatan-barat-timur-atas-bawah. 12. Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane (Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya). Untuk memperoleh tingkatan luhuring batin menjadi insan sempurna memang tidak dapat seketika, mesti diperoleh setapak-setapak dari bawah. Demikian pula dalam hal ilmu kasampurnan, dalam mencapai tataran ma’rifat tidaklah dapat langsung meloncat. Untuk bisa mengetahui dan memahami makna Ha, maka haruslah dicapai dari Nga. Sebelum mencapai sembah rasa, haruslah dilalui sembah raga dan sembah kalbu/ sembah jiwa terlebih dahulu. Pertama, adalah panembah raga/ kawula terhadap Roh Suci, kedua, adalah panembah Roh Suci kepada Guru Sejati, dan terakhir adalah panembah Guru Sejati/ Ingsun kepada Allah Yang Maha Agung ya Suksma Kawekas. 13. Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti (Bersatunya antara hamba dan Tuan nya). Bersatunya titah dan Yang Menitahkannya. Untuk mencapainya maka kesempurnaan hiduplah yang diupaya yaitu sesuai apa yang dimaksud dalam sahadat. Maka semasa hidup di mayapada/dunia, bersatunya/ sinkronisasi Roh Sejati, Ingsun yang jumeneng pribadi dan busana-busana haruslah terjaga. Bagaikan keris manjing dalam wrangkanya dan wrangka manjing didalam keris. Untuk dapat mencapai kesatuan antara kawula dan Gusti maka tuntunan seorang guru yaitu Guru Sejati menjadi dominan. Untuk memperoleh nya maka tidaklah mudah, haruslah dengan disiplin keras bagaikan kerasnya usaha seorang Bima menemukan Dewa Ruci, yaitu wujud Bima dalam ujud yang kecil (manusia telah menemukan AKU nya sendiri) dalam mencari tirta pawitra. 14. Ya – Yen rumangsa tanpa karsa (Kalau merasa tanpa kehendak). Hanya dengan rila/rela, narima, sumarah/pasrah kepada Allah tanpa pamrih lain-lain, namun dorongan karena kasih sajalah yang akhirnya dapat menjadi perekat yang kuat antara asal dan tujuan, sini dan sana. 15. Ny - Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki (Melihat tanpa dengan mata, mengerti tanpa diajari). Kalau anugerah Allah telah diterima, maka dapat melihat hal-hal yang kasat mata, karena mata batin telah “terbuka”. Selain itu, kuasa-kuasa agung akan diberikan oleh Allah lewat Guru Sejatinya sendiri ya Suksma Sejatinya, sehingga kegaiban-kegaiban yang merupakan misteri kehidupan dapat dimengertinya dan diselaminya. Mendapatkan ilmu kasampurnan dari dalam sanubarinya, tanpa melalui perantaraan otak/akal. 16. Ma – Mati bisa bali (Mati bisa kembali). Kasih Allah yang luar biasa selalu memberikan ampunan kepada setiap manusia yang “mati” terjatuh dalam dosa dan salah. Matinya raga atau badan wadag hanyalah matinya keempat anasir yang tadinya tiada, kembali ketiada. Namun roh yang sifatnya kekal tiada pernah mati, namun kembali ke Alam Sejati ya Kerajaan Allah yang tiada awal dan akhir. Namun, apabila selama hidupnya di mayapada tidak sesuai dengan Karsa Allah, melupakan Allah dan ajaran Guru Sejati, tiada dapat ngracut busana kamanungsan nya untuk tindakan-tindakan budi luhur, maka tidaklah dapat langsung kembali ke Alam Sejati, namun terperosok ke alam-alam yang tingkatannya lebih rendah sesuai dengan bobot kesalahannya, atau dititahkan kembali, yang kesemua itu untuk dapat memperbaiki kesalahan-kesalahannya. 17. Ga – Guru Sejati kang muruki (Guru Sejati yang mengajari). Sumber segala sesuatu adalah Allah yang dipancarkan lewat Sang Guru Sejati/Ingsun/Rasul Sejati. Maka hanya kepadaNya lah tuntunan harusnya diperoleh. Petunjuk Guru Sejati hanya dapat didengar dan diterima apabila sudah dapat berhasil meracut busana kamanungsan nya. Disinilah akan tercapai guruku ya AKU, muridKU ya aku. 18. Ba – Bayu Sejati kang andalani (Dengan bantuan Bayu Sejati). Daya kekuatan sejati yang merupakan bayangan daya kekuatan Allah lah yang mendorong “pencapaian” tingkat-tingkat yang lebih tinggi atau maksud-maksud spirituil yang berarti. 19. Tha – Thukul saka niat (Tumbuh/muncul dari niat). Niat menuju kearah sangkan paraning dumadi yang didasari kesucian, tanpa kehendak dan keinginan ataupun pamrih keduniawian. Timbulnya niat suci karena dasarnya adalah cinta /kasih Illahi. 20. Nga – Ngracut busananing manungsa (Merajut/menjalin pakaian-pakaian ke-manusiaan-nya). Busana kamanungsan adalah empat anasir, yang dimanifestasikan dalam wujud-wujud sedulur empat, serta lima sedulur lainnya. Kesembilan saudara tersebut harus dikuasai, diracut/dijalin dengan memahami kelebihan dan kekurangannya, agar tercapai “iklim” harmoni/balance dalam perjalanan manusia hidup di maya pada ini, yang pada akhirnya tercapailah kesempurnaan hidup. Prabu Sumali Kini tiba saatnya Resi Wisrawa memulai penjabaran apa arti ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Namun sebelum wejangan berupa penjabaran makna ilmu sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu diajarkan kepada Dewi Sukesi, Resi Wisrawa memberikan sekilas tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Resi Wisrawa berkata lembut, bahwa seyogyanya tak usah terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti sastra jendra. Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu adalah, barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur. Terperangah Prabu Sumali tatkala mendengar uraian Resi Wisrawa. Mendengar penjelasan singkat itu Prabu Sumali hatinya mmenjadi sangat terpengaruh, tertegun dan dengan segera mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke dalam sanggar. Wejangan dilakukan di dalam sanggar pemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Karena Sastrajendra adalah rahasia alam semesta, yang tidak dibolehkan diketahui sebarang makhluk, seisi dunia baik daratan, angkasa dan lautan. Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu sebagai kunci orang dapat memahami isi indraloka pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada yaitu pintu gerbang atau kunci rasa jati, yang dalam hal ini bernilai sama dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat gaib. Maka dari itu ilmu Sastra Jendera Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebagai sarana pemunah segala bahaya, yang di dalam hal ilmu sudah tiada lagi. Sebab segalanya sudah tercakup dalam sastra utama, puncak dari segala macam ilmu. Raksasa serta segala hewan seisi hutan, jika tahu artinya sastra jendra. Dewa akan membebaskan dari segala petaka. Sempurna kematiannya, rohnya akan berkumpul dengan roh manusia, manusia yang telah sempurna yang menguasal sastra jendra, apabila ia mati, rohnya akan berkumpul dengan para dewa yang mulya. Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu Ilmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam beserta perkembangannya. Jadi tugasnya, Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau jalan dalam hal ini berarti sukma dan roh yang manunggal, antara lain dengan cara-cara seperti: Mutih : secara ekstrim makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga (orang jaman dulu) atau dengan kata lain makan seperlunya saja, jangan terlalu berlebihan. Suhud : menjauhkan diri dari segala macam keduniawian, dapat juga diartikan sak derma nglakoni, uripa apa enenge. Ngebleng : menghindari segala makanan atau minuman yang bergaram. Patigeni : tidak makan atau minum apa-apa sama sekali selama sehari semalam(rekasa iki nglakonine...). Selanjutnya melakukan samadi, sambil mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya. Pada samadi itulah pada galibnya orang akan mendapalkan ilham atau wisik. Ada tujuh tahapan atau tingkat yang harus dilakukan apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna, yaitu : Tapaning jasad, yang berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu peristiwa yang menyangkut pada dirinya. Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan kesungguhan hati. Tapaning budi, yang berarti mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan segala hal yang bersifat tidak jujur. Tapaning hawa nafsu, yang berarti mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara murka dari diri pribadi. Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati, berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta kewaspadaan (hening). Tapaning sukma, yang berarti memenangkan jiwanya. Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian, sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga. Pendek kata tanpa menyinggung perasaan. Tapaning cahya, yang berarti hendaknya orang selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan umum. Tapaning gesang, yang berarti berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu dinamakan pula “Benih seluruh semesta alam.” Iku inti surasane serat "Sastra Jendrayuningrat Pangruwating diyu", yen kuwat... silahkan mencoba, Resiko tanggung sendiri (yen ra kuwat bisa edan...).

@sabda Pandita Ratu

Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengertian modern ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan seorang pemimpin dan seorang guru( Contoh :presiden, bupati,ketua organisasi dan para guru baik formal maupun non formal) , tidak boleh sering diralat (Kalau perlu sekali berkata maka itulah yang harus menjadi pegangan). Berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu. Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata, Raja Ayodya, akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekayi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekayi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu. Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya. Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan. Disadur dari Tulisan: F. Trihatmoko

Rabu, 18 September 2013

@DEWA RUCI DALAM JAGAD KEJAWEN

SERAT DEWA RUCI URUTAN CERITA: 1. Pendawa dan sepupunya yang jahat, Kurawa, adalah murid-murid dari Begawan Durna. Pendeta ini kemudian menjadi penasehat dari Kurawa, memerintahkan Pendawa, dalam hal ini Bima, untuk bertemu dengan Dewa Ruci. 2. Bima diutus untuk mencari "air kehidupan" yang dianggap terdapat di pegunungan Reksa Muka (simbol dari lima indera manusia). Bima tidak menemukan benda tersebut. Tetapi ia bertemu dengan raksasa kembar yang hampir saja membunuhnya. Kedua raksasa tersebut kemudian berubah wujud menjadi dewa-dewa yang memberi tahu Bima bahwa air kehidupan tidak terdapat di tempat itu. 3.Bima kembali untuk menemui Durna untuk meminta tambahan keterangan. Durna mengatakan bahwa air kehidupan itu terdapat di dasar lautan. Bima kemudian mohon pamit pada ibu dan saudara-saudaranya untuk mengembara. Meskipun mereka menahannya, Bima tetap berangkat. Ketika memasuki lautan, dia diserang oleh seekor ular besar yang hampir membunuhnya, tetapi dengan kekuatan kuku Panchanakanya, dia dapat membunuh ular tersebut. Makin dalam memasuki lautan, Bima menjadi tidak sadarkan diri. Ketika ia membukakan matanya, ia melihat mahluk seperti dirinya, tetapi dalam ukuran kecil yakni DEWA RUCI. 4. Dewa Ruci meminta Bima untuk masuk kedalam badannya, melalui telinga kirinya. Walaupun dewa ini sangat kecil, tetapi Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan menemukan dirinya berada pada suatu dunia yang sangat mengagumkan, damai, dan indah, dimana ia merasa sangat nyaman dan karena itu Bima ingin tetap tinggal disana. Dewa Ruci kemudian menjelaskan makna dari apa yang dilihatnya dan makna dari kehidupan. Menjawab keinginan Bima untuk tinggal disana, Dewa Ruci mengatakan ia boleh tinggal disana setelah kematiannya. Tetapi untuk saat ini, ia harus kembali ke bumi bersama dengan saudara-saudaranya untuk melaksakan kewajiban sebagai ksatria. Bima mengikuti Dewa Ruci dan kembali ke dunia nyata untuk melanjutkan perlawanannya memerangi kejahatan, membela saudara-saudaranya melawan Kurawa.

@my love

"CINTAKU SEPERTI ILMU TAJWID" Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah, hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar... Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati diantara idgham billaghunnah, terlihat, tapi dianggap tak ada... Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar, jelas dan terang... Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta... Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba-tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain...melebur jadi satu. Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil, Paling panjang di antara yang lainnya... Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro.. terpantul-pantul dengan keras... Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.. Sayangku padamu seperti mad thobi'I dalam Al-Qur'an... Buanyaaakkk beneerrrrr.... Semoga dalam hubungan kita ini seperti idgham bilaghunnah yang cuma berdua, lam dan ro' .. Meski perhatianku ga terlihat seperti alif lam syamsiah, namun cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas... Kau & aku sepeti Idgham Mutaqooribain.. perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya... Dan layaknya huruf Tafkhim, Namamu pun bercetak tebal di fikiranku.. Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun.. Subhanallah... Sungguh bahagia insan yang telah menemukan cinta sejatinya, mereka ibarat tasbih & benang pengikatnya yang terajut menjadi satu untaian yang selalu disentuh satu demi satu oleh insan mulia yang bibirnya basah akan cinta kepada Rabb-Nya.. (Dinukil dari group WA) Thank's to Hary Irmadani for these words..

Selasa, 17 September 2013

@CINTA

CINTA Atas nama cinta..., sering kita mendengar kalimat tersebut, atau minimal rangkaian kata yang mengandung pengungkapan cinta. Lalu apakah cinta itu sesungguhnya? 1. Cinta Fisik Menurutku cinta fisik merupakan yang paling dasar. ia dimiliki oleh setiap mahluk hidup, baik yang berakal maupun yang hanya mengandalkan naluri saja. Jenis cinta ini dimiliki oleh siapa saja: manusia, hewan, jin, bahkan setanpun memiliki cinta jenis ini. contoh cinta jenis ini : cinta terhadap lawan jenis 2. Cinta karena harapan cinta karena harapan tindak hanya melibatkan naluri saja, tetapi melibatkan juga akal, pikiran serta hati, sehingga timbul keinginan untuk memiliki, melakukan perbaikan di masa yang akan datang sesuai harapan yang menurutnya lebih menyenangkan. oleh karena itu cinta kepada harapan melahirkan kekuatan untuk melawan setiap rintangan yang ada dimasa sekarang demi cita-cita yang ia agungkan. Contoh cinta harapan : - Gadjah Mada mampu melakukan ekspedisi penaklukan nusantara selama 50 tahun. Sesuatu yang tidak masuk akal, jika dipikirkan oleh nalar kita. Hidup cuma sekali... Ngapain susah-susah...? - Alexsander Agung. Udah jadi raja, hidup di istana, mau wanita berapapun dengan mudah didapatkannya. Ngapain.... susah-susah menaklukkan negeri sampai india segala. Capek tau... dan masih banyak lagi, jenis cinta yang tidak masuk akal....(setidaknya secara naluriah). 3. Cinta Kepasrahan Merupakan tingkatan tertinggi dari cinta.Sesuatu yang jauh dari logika karena ia melibatkan jiwa-jiwa yang bersemayan. Sebuah cinta terhadap Illahi... contoh : Perjuangan para nabi. Bukan untuk tujuan kejayaan maupun kekayaan duniawi. Semata-mata demi sebuah keyakinan ukhrawi.

@darisahabat

PANGGIL SAYA PAK HAJI! Kajian kali ini, mari kita kupas masalah kebiasaan menyematkan gelar "Haji" atau "Hajjah" yang sering terjadi khususnya di negara Asia Tenggara (Indonesia & Malaysia). Apa yang boleh atau apa yang dilarang? SYARAT DITERIMANYA IBADAH Dalam melakukan ibadah, selain harus memenuhi syarat dan rukun ibadah itu sendiri, seseorang juga harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi syarat atau penentu diterimanya ibadah itu. Setidaknya, ada dua syarat atau penentu diterimanya suatu ibadah. Pertama, dikerjakan dengan ikhlas. Kedua, dikerjakan dengan benar, yaitu sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, atau dikenal dengan istilah mutaba'atur rasul. Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, "Amal ibadah itu jika dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar, tidak akan diterima. Dan apabila dikerjakan dengan benar, namun tidak ikhlas, tidak diterima pula. Sehingga ibadah itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar." Dalam hal ini, tak terkecuali ibadah haji. Sebagian orang merasakan begitu beratnya berlaku ikhlas dalam ibadah haji. Sebab, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya, kebiasaan di negeri ini, jika seseorang telah melaksanakan haji, ia berpeluang mendapat gelar baru "H" atau"Hj" (Haji atau Hajjah) yang tertera di depan namanya. Karena ibadah haji dianggap sebagai suatu yang sangat istimewa di mata masyarakat umum, maka mereka berusaha mengagungkannya sebagai tingkat kemuliaan seseorang dengan gelar itu. Karenanya, bagi seseorang yang melaksanakan haji, jika tidak berhati-hati dengan niatnya, ia bisa terjerumus ke dalam riya dan kehilangan semua pahala hajinya. Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhori: 1). POTENSI MENJERUMUSKAN PADA KESYIRIKAN Bagi seseorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian, apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”, hal ini membuka pintu-pintu riya’ dan sum’ah bagi dirinya. Di mana dia merasa hebat, merasa bangga, ‘ujub, merasa kagum dengan dirinya karena dia sudah melaksanakan haji, atau ingin diketahui orang-orang bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan. Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Riya, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?” ( HR Ahmad-22528 ). Menurut Ibnu Qayyim, riya dikategorikan syirik kecil karena telah mencederai keyakinan seseorang pada ‘iyyaaka na’bud’ ( hanya kepada Engkau saja kami menyembah ). Pada kata ‘iyyaka’ ( hanya kepada Engkau ) terkandung makna mengkhususkan penghambaan hanya untuk Allah ( takhsisul ubudiyyah lillah ), hal ini dirusak oleh sikap riya, karena Allah disekutukan dengan mengharap perhatian dan pujian dari makhluk. Allah tidak lagi dikhususkan dalam memohon harapan dan pujian serta perhatian. Singkat kata, pelaku riya mengharapkan bagian dari ibadahnya untuk hawa nafsunya sehingga ibadahnya tidak lagi murni bagi Allah. Perhatikan firman Allah yang memperingatkan dari bahaya riya’ atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya: لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ “Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65) Sementara pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi. Dalam hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan juga untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia bermaksud demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Shahih Muslim, 18/116). Ini artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51) KENAPA HANYA HAJI YANG DIBERI GELAR? Dalam rukun Islam, ibadah haji dilakukan jika mampu, berbeda dengan syahadat, sholat 5 waktu, zakat, dan puasa bulan Ramadhan. Sehingga haji itu kalah utama dibandingkan shalat 5 waktu, shalat 5 waktu jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa Ramadhan lebih utama dibandingkan haji. Akan tetapi seandainya gelar-gelar “Haji” disyari’atkan, kenapa hanya menggunakan “Haji” tidak sekalian “Shalat”? Misalnya dikatakan Haji Syaiful, kenapa tidak dikatakan Shalat Syaiful atau Zakat Syaiful, padahal shalat lebih utama dibandingkan haji. Ini tentunya karena adanya status tersendiri yang disandang oleh orang yang bergelar “Haji” ini. Kebiasaan menggelari seseorang dengan gelar-gelar seperti ini, baik dia masih hidup apalagi sudah meninggal, hendaknya ditinggalkan, karena ini cenderung memudhorotkan dirinya dengan terjatuh ke dalam riya’ atau sum’ah atau kejelekan-kejelekan yg lain. TIDAK ADA SAHABAT RASULULLAH YANG BERGELAR HAJI Jika kita menoleh ke zaman Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam, tidak seorang pun dari ratusan ribu sahabat beliau ataupun tabi’in (murid sahabat), tabi’ut tabi’in (murid dari murid sahabat) dan ulama-ulama Islam yang telah menunaikan ibadah haji yang menyandangkan gelar "Haji" di depan namanya. Kita tidak pernah mendengar H. Abu Bakar Ash Shiddiq, H. ‘Umar bin Khaththab, H. ‘Ali bin Abi Thalib, H. ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar H. Imam Syafi’i, H. Imam Ahmad. Bahkan selama ini, belum pernah didengar H. Nabi Muhammad. Nah, Nabi saja tidak bergelar haji, apalagi kita ?? SEMBUNYIKAN AMALAN KEBAIKANMU Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim no. 2965). Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?” Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” (Dinukil dari Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas). HINDARI BERBURUK SANGKA Namun sebagai muslim, kita diwajibkan Allah SWT untuk selalu berhusnudzdzan kepada sesama muslim. Sebab ada kalanya seseorang digelari haji bukan karena kehendaknya, tetapi karena kehendak masyarakat. Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.” Sehingga tidak selamanya seseorang digelari haji itu mengandung makna negatif semacam riya' dan sebagainya. Adalah kurang bijaksana bila kita langsung menggeneralisir setiap masalah dengan satu sikap. Semua perlu didudukkan perkaranya secara baik-baik. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya’ yang dapat menghapus amalan. Foto: ‎PANGGIL SAYA PAK HAJI! Kajian kali ini, mari kita kupas masalah kebiasaan menyematkan gelar "Haji" atau "Hajjah" yang sering terjadi khususnya di negara Asia Tenggara (Indonesia & Malaysia). Apa yang boleh atau apa yang dilarang? SYARAT DITERIMANYA IBADAH Dalam melakukan ibadah, selain harus memenuhi syarat dan rukun ibadah itu sendiri, seseorang juga harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi syarat atau penentu diterimanya ibadah itu. Setidaknya, ada dua syarat atau penentu diterimanya suatu ibadah. Pertama, dikerjakan dengan ikhlas. Kedua, dikerjakan dengan benar, yaitu sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, atau dikenal dengan istilah mutaba'atur rasul. Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, "Amal ibadah itu jika dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar, tidak akan diterima. Dan apabila dikerjakan dengan benar, namun tidak ikhlas, tidak diterima pula. Sehingga ibadah itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar." Dalam hal ini, tak terkecuali ibadah haji. Sebagian orang merasakan begitu beratnya berlaku ikhlas dalam ibadah haji. Sebab, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya, kebiasaan di negeri ini, jika seseorang telah melaksanakan haji, ia berpeluang mendapat gelar baru "H" atau"Hj" (Haji atau Hajjah) yang tertera di depan namanya. Karena ibadah haji dianggap sebagai suatu yang sangat istimewa di mata masyarakat umum, maka mereka berusaha mengagungkannya sebagai tingkat kemuliaan seseorang dengan gelar itu. Karenanya, bagi seseorang yang melaksanakan haji, jika tidak berhati-hati dengan niatnya, ia bisa terjerumus ke dalam riya dan kehilangan semua pahala hajinya. Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhori: 1). POTENSI MENJERUMUSKAN PADA KESYIRIKAN Bagi seseorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian, apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”, hal ini membuka pintu-pintu riya’ dan sum’ah bagi dirinya. Di mana dia merasa hebat, merasa bangga, ‘ujub, merasa kagum dengan dirinya karena dia sudah melaksanakan haji, atau ingin diketahui orang-orang bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan. Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Riya, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?” ( HR Ahmad-22528 ). Menurut Ibnu Qayyim, riya dikategorikan syirik kecil karena telah mencederai keyakinan seseorang pada ‘iyyaaka na’bud’ ( hanya kepada Engkau saja kami menyembah ). Pada kata ‘iyyaka’ ( hanya kepada Engkau ) terkandung makna mengkhususkan penghambaan hanya untuk Allah ( takhsisul ubudiyyah lillah ), hal ini dirusak oleh sikap riya, karena Allah disekutukan dengan mengharap perhatian dan pujian dari makhluk. Allah tidak lagi dikhususkan dalam memohon harapan dan pujian serta perhatian. Singkat kata, pelaku riya mengharapkan bagian dari ibadahnya untuk hawa nafsunya sehingga ibadahnya tidak lagi murni bagi Allah. Perhatikan firman Allah yang memperingatkan dari bahaya riya’ atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya: لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ “Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65) Sementara pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi. Dalam hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan juga untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia bermaksud demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Shahih Muslim, 18/116). Ini artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51) KENAPA HANYA HAJI YANG DIBERI GELAR? Dalam rukun Islam, ibadah haji dilakukan jika mampu, berbeda dengan syahadat, sholat 5 waktu, zakat, dan puasa bulan Ramadhan. Sehingga haji itu kalah utama dibandingkan shalat 5 waktu, shalat 5 waktu jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa Ramadhan lebih utama dibandingkan haji. Akan tetapi seandainya gelar-gelar “Haji” disyari’atkan, kenapa hanya menggunakan “Haji” tidak sekalian “Shalat”? Misalnya dikatakan Haji Syaiful, kenapa tidak dikatakan Shalat Syaiful atau Zakat Syaiful, padahal shalat lebih utama dibandingkan haji. Ini tentunya karena adanya status tersendiri yang disandang oleh orang yang bergelar “Haji” ini. Kebiasaan menggelari seseorang dengan gelar-gelar seperti ini, baik dia masih hidup apalagi sudah meninggal, hendaknya ditinggalkan, karena ini cenderung memudhorotkan dirinya dengan terjatuh ke dalam riya’ atau sum’ah atau kejelekan-kejelekan yg lain. TIDAK ADA SAHABAT RASULULLAH YANG BERGELAR HAJI Jika kita menoleh ke zaman Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam, tidak seorang pun dari ratusan ribu sahabat beliau ataupun tabi’in (murid sahabat), tabi’ut tabi’in (murid dari murid sahabat) dan ulama-ulama Islam yang telah menunaikan ibadah haji yang menyandangkan gelar "Haji" di depan namanya. Kita tidak pernah mendengar H. Abu Bakar Ash Shiddiq, H. ‘Umar bin Khaththab, H. ‘Ali bin Abi Thalib, H. ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar H. Imam Syafi’i, H. Imam Ahmad. Bahkan selama ini, belum pernah didengar H. Nabi Muhammad. Nah, Nabi saja tidak bergelar haji, apalagi kita ?? SEMBUNYIKAN AMALAN KEBAIKANMU Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim no. 2965). Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?” Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” (Dinukil dari Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas). HINDARI BERBURUK SANGKA Namun sebagai muslim, kita diwajibkan Allah SWT untuk selalu berhusnudzdzan kepada sesama muslim. Sebab ada kalanya seseorang digelari haji bukan karena kehendaknya, tetapi karena kehendak masyarakat. Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.” Sehingga tidak selamanya seseorang digelari haji itu mengandung makna negatif semacam riya' dan sebagainya. Adalah kurang bijaksana bila kita langsung menggeneralisir setiap masalah dengan satu sikap. Semua perlu didudukkan perkaranya secara baik-baik. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya’ yang dapat menghapus amalan.‎

Senin, 16 September 2013

@widya

apa yang kita butuhkan, sebenarnya sudah ada di alam semesta ini sejak semulanya. Tinggal kita berusaha untuk menemukannya