Rabu, 27 November 2013

Urip Mung Sak dermo nglakoni

Sejatine urip kuwi  mung sadermo nglakoni. Kabegjan lan gumbiraning ati ora ana sing bisa ngira-ira kapan tekane, semana uga tekane kasusahan ya ora ana sing bisa ngira-ira. Dadi, sejatine titah kuwi ya kaya wayang sing diobahake karo dalang. Dalang sing sejatine dalang ora ana liya maneh kejaba Gusti Allah SWT kang akarya jagad. Ing samubarang gawe lan ing samubarang kahanan sing dadi kasunyatan urip, mestine kudu dilakoni kanti sabar, sukur, lila-legawa. Ora ana maneh, yo mung kuwi. Hananging, titah kuwi uga diparingi pilihan saka gusti Allah. Sakabehing tumindak, pangucap, pangroso, prakaryan kudu dinalar piye carane supaya bisa dadi apik, sing sejatine sakabehing daya kuwi ya saka paringane gusti Allah. Arep ngalor ngidul ngetan ngulon, yo gusti Allah sing ngobahake. Dadi sepisan maneh, urip ki mung sadermo ngelakoni. Sapa kang bisa nglakoni kanti lila legawa, ya iku sejatine suwargane Gusti Allah ing alam donya.
 Kuwajibaning urip iku ana ing laku. Ngilmu iku tinemune uga ana ing laku. Mung wae, ngilmu iku angele yen durung ketemu mula lakonana najan nganti ing pojoking bumi.
Urip kang sejati iku urip kang ora nduweni rasa rumangsa.
Wong kang rumangsa pinter iku sejatine bodho.
Wong kang rumangsa bodho iku sejatine pinter.
Kabeh mau amarga ngilmu iku tanpa wates. dioyaka kaya ngapa ora bakal ana enteke.
Dadi aja rumangsa pinter, mundhak mandheg olehmu ngoyak ilmu, sing akhire ngilmumu mundhak dina ora mundhak tambah, ya mung iku-iku wae ...
Dadia wong kang rumangsa bodho. Insya Allah ilmumu mundhak dina saya tambah. Yen kowe rumangsa bodho mesthi wae pingine ngoyak ngilmu terus. saya dioyak saya rumangsa bodho. Batinmu gumun..."Kok ngilmu ing alam donya iki ora entek-entek?". Saking rumangsa bodhone, ora krasa ngilmumu saya suwe saya tambah.

Rabu, 20 November 2013

MELU TANGI NEDYA AYU

"Melu tangi nedya ayu" artine melu gumbregah nandangi pakaryan murih kabecikane bebrayan.

Ing Ngarsa Sung Tuladha

Terdapat wulang reh dalam "Serat Rama dan Asta Brata (3): Memimpin Harus “Krama Tuhu” dan “Aja Atinggal sarat” Dikisahkan pada bait ke 13 dan 14 pupuh Pangkur, bahwa seluruh aparat dan “wong cilik” dengan seluruh keluarganya tidak ada yang ketinggalan, semua bangkit untuk menjadi baik (milu tangi nedya ayu). Dua baris terakhir bait ke 14 menutup dengan kata-kata:  marmane wajibing raja agawe tuladan bêcik (oleh sebab itu kewajiban raja adalah memberikan keteladanan). Lengkapnya bait ke 13 dan 14 sebagai berikut:


Pemimpin adalah panutan.Untuk menjadi pemimpin yang baik, "keteladanan" adalah kuncinya.

Semua mengikuti kelakuan pimpinannya, bahkan akan lebih seru, seperti dikatakan dalam peribahasa Indonesia: Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Bila kita merujuk kepada ucapak Ki Hajar Dewantara: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” maka posisi kalimat pertama: “ing ngarsa sung tuladha” ini penting sekali. 
Sumber : Iwan M Muljono, Iwan M Muljono.blogspot.com 


Sekali lagi, "Pemimpin adalah panutan". Kelakuannya, yang baik maupun yang buruk (ing reh ala becik), akan ditiru seluruh rakyatnya (yekti tiniru sajagad). Yang baik akan ditiru baik, yang buruk akan ditiru buruk (ala ya tiniru ala yèn abêcik pêsthi tiniru bêcik). Demikian disebutkan pada bait ke 15 dan 16 pupuh Pangkur sebagai berikut:

  


Sumber : Iwan M Muljono, Iwan M Muljono.blogspot.com 

ING GARSA SUNG TULODO ING MADYA MBANGUN KARSA TUT WURI HANDAYANI

Ing Ngarso Sung Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sung Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.

Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.

Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat.

Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sung TulodoIng Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat . Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.

Sumber : Kamuskamu.wordpress.com

Selasa, 19 November 2013

JER BASUKI MAWA BEYA

kalimat “Jer Basuki Mawa Beya” amat akrab bagi telinga orang Jawa, khususnya yang di Provinsi Jawa Timur. Demikian tinggi maknanya sehingga kalimat tersebut tertera di bawah Lambang Daerah Jawa Timur yang ditetapkan dengan Perda. Ringkasnya kalimat “Jer Basuki Mawa Beya” mengandung arti “Untuk mencapai kebahagiaan diperlukan pengorbanan”
sebenarnya sejak kanak-kanak kita sudah dididik untuk memahami bahwa “kebahagiaan butuh kerja keras” dalam hal ini melalui permainan "Engklek sunda manda". Dalam “Sundah mandah” sawah baru kita peroleh setelah berjuang. Intinya, manungsa dhemen enak lan kapenak, nanging kudu nukoni kangelan dhisik. Masalahnya apakah ada yang menjelaskan kepada anak-anak tersebut makna dibalik permainan “sundah mandah”, jangan-jangan tidak ada. Lebih-lebih pada jaman sekarang, apakah masih ada anak-anak yang bermain “sundah mandah”?
Dalam bahasa Jawa kata “Basuki” mengandung arti selamat sejahtera, lahir dan batin. sesuatu yang menjadi cita-cita orang Jawa pada umumnya. Dasanama (sinonim) dari kata “basuki” dalam bahasa Jawa cukup banyak. Karena nama dianggap mengandung makna, maka orang Jawa banyak (paling tidak pada masa itu) memberi nama anaknya yang mengandung makna selamat dan sejahtera. Contohnya: Basuki, Lestari, Slamet, Raharja, Rahayu, Sugeng, Widada, Wilujeng, Yuwana. bahkan bisa didobel, misalnya Slamet Raharja.

Guna mencapai “Basuki” diperlukan “Beya”, yang artinya adalah biaya. Mendengar kata “biaya” maka yang pertama kali terlintas dalam otak kita pasti “uang”. Memang semua butuh uang, dan tidak sedikit. Ada dua guyonan yang semua orang sudah tahu, yaitu pada waktu tawar-menawar tarip dengan tukang becak: (1) Sewu njaluk slamet (seribu minta selamat) dan  (2) Sewu tanpa rem (seribu tidak pakai rem). Ungkapannya sederhana, tapi silakan didalami, ternyata maknanya dalam.

Uang memang sakti. Tetapi sesakti-saktinya uang, ia tidak menyelesaikan masalah. Seorang teman yang sekarang sudah meninggal dunia, pernah mengatakan: “Uang itu pokok, tapi tidak prinsip. Jangan dibalik bahwa uang itu prinsip tapi tidak pokok. Maknanya lain”.

“Mawa beya” berarti membutuhkan biaya. “Beya” disini tidak berarti uang, walaupun pada jaman sekarang semuanya perlu dihitung dengan uang. ”Beya” dapat diartikan “input” untuk mencapai “basuki”.  Pemikiran kita, waktu kita, kerja keras kita, pengorbanan kita, semua adalah input. Semua adalah modal. Tidak ada sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Semuanya harus digali sendiri oleh manusia dari bumi.  Kita tidak boleh “njagakake endhoge si blorok” dan orang yang “thenguk-thenguk nemu kethuk” memang ada tetapi kasuistik saja. Amat langka kejadiannya. Apalagi kalau dikaitkan dengan pembangunan, jelas tidak mungkin.

“Jer Basuki Mawa Beya” adalah pesan untuk kita semua: Perorangan, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semangat “Jer Basuki Mawa Beya” membangunkan kita semua untuk meningkatkan keikhlasan berkorban, meningkatkan partisipasi dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita bayar dengan “beya” darah dan air mata.
dikutip dari : Iwan M Muljono. Thank you...

Becik Ketitik Olo Ketoro

Ada ungkapan dalam bahasa jawa yang baik kita renungkan di situasi sekarang ini, di mana semua orang mengaku paling benar dan menghakimi orang lain paling tidak berguna, bersalah dan nista, yaitu :
"Becik Ketitik Olo Ketoro" artinya Orang Benar akan pasti kelihatan dan Orang yang salah/jahat akan juga pasti kelihatan". Artinya secara luas bagaimanapun kita berusaha menutupi sesuatu dengan sejuta kebohongan, tipu muslihat, grand design yang mutakhir tetap akhirnya akan nampak kebenaran yang mana dan kejahatan yang mana. 
 
Dari sini ada masalah waktu yang menentukan kita akan bertanya kapan kebenaran itu kelihatan dan kejahatan akan nampak terang benderang kelihatan, karena selang waktu ini bisa membuat orang lain menjadi korban, bisa satu orang bahkan jutaan orang jadi korban. 
Kondisi ini orang Jawa akan berkata" Wong Ora Iso ndelok githoke Dewe" artinya orang tidak bisa melihat kesalahan sendiri dan selalu menyalahkan orang lain.

Lalu apa yang harus kita maknai dari kondisi ini? Banyak Filsuf yang memberikan kata-kata bijak agar perasaan kita agak kendor dari situasi yang menegangkan dari kondisi waktu selang yang belum menunjukkan yang jahat itu kelihatan terang benderang, seperti :
Phytagoras berkata,”jika engkau ingin hidup senang ,maka hendaklah engkau rela di anggap sebagai tidak berakal atau di anggap orang bodoh”.
Cicero, Filsuf-Negarawan Masa Romawi “Hanya ada dua kata yang menuntun Anda pada kesuksesan. Kata-kata itu adalah “ya” dan “tidak. 

Di Agama Islam ada rahasia yang tahu hanya Allah Maha Pencipta yaitu Jodoh, Rejeki dan Mati.
Kalau kita mendekati logika kita tahu kapan mati (bukan Rahasia Allah) maka tidak ada kejahatan yang abadi, karena kita manusia yang sangat lihai menipu kehidupan akan berusaha jahat agar kaya dan berkuasa pada waktu tertentu dan bertobat pada kurun waktu tertentu untuk dekat dengan Allah sebelum mati. Artinya tidak ada orang yang mati sedang berjudi, mati di tempat pelacuran, mati sedang transaksi narkoba dan mati yang membuat mereka jauh dari Allah alias di cap masuk Neraka.
Mereka banyak Mati sedang Sholat, Berdzikir, Mati sedang berdoa dengan Pendeta di Gereja, mati setelah Pengakuan Dosa dengan Pendeta, Mati sedang berdoa dengan Biksu ataupun Pendeta dari Agama Budha dll yang mati dalam penyerahan diri ke Pencipta Alam Semesta dan Isinya.
Banyak doktrin yang di buat benak di otak yang di buat oleh network manusia semua kejahatan dan dosa itu yang membuat kita kaya/berharta dan berkuasa karena hakikat kebaikan (becik) atau kebajikan upahnya hanya ketika kita sudah meninggal jadi panennya di akherat. Untuk panen kehidupan kaya dan berkuasa hanya untuk orang yang berdosa. Doktrin ini banyak membawa kaum Dhuafa, serakah, materialistik pengejar kehidupan dunia menjadi kafir dan jauh dari amanah Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka di buat harus berdosa tiap hari agar hidupnya di cukupi....oh, mengerikan paham ini jika telah hadir di sendi kehidupan di Indonesia, karena kaum pecinta setan telah nyata-nyata ada di sekitar. Lalu mana yang kita sebut kebajikan kelihatan ( Becik Ketitik ) semua akan samar-samar karena kebajikan menjadi sangat transaksional yang memberikan nilai materi saja.
 
Memang hidup dengan persaingan yang sangat ketat dan ganas di jaman ini, apakah sudah sangat sulit mencari harta yang halal? Karena yang harampun terlihat sudah sangat sulit di cari. Lihat pencuri sandal di hukum yang berat, nenek mencuri beberapa buah coklat/cocoa di hukum yang berat bahkan mencuri ayam bisa mati di pukulin warga.
 
Lalu kita ingat Seklumit tentang Serat Kalatida oleh Ronggo Warsito :
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

Artinya :
Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.


Kita tidak sok atau merasa suci dalam kehidupan tetapi kehidupan yang penulis tuturkan telah hadir tiap hari di lingkungan kehidupan kita. Mari kita kuatkan rasa "Becik Kititik Olo Ketoro" agar yang benar/becik saling melindungi, saling menjaga dan bantu membantu untuk membentengi kejahatan yang tidak/atau belum kelihatan yang akan hadir.

Dikutip dari : Rio Rasyad

Kamis, 14 November 2013

Hasta brata dalam kepemimpinan Pak Harto

Pak Harto adalah sebuah legenda. sebuah fenomena. sebuah potret perjalanan sejarah bangsa ini. sejarah ketokohan sekaligus kepemimpinan yang mampu memberikan pelajaran berharga pada kita semua. sejarah bangsa, komplet dengan warna hitam putihnya. Bahwa, selain kelemahan dan kekurangan yang telah banyak ditulis orang, terdapat pula sisi kekuatan dan kelebihan yang perlu juga dikenang dan dihargai.

Kepemimpinan  Pak Harto
Kepemimpinan Pak Harto berdasarkan Hasta Brata yakni adalah suatu ajaran tentang kepemimpinan. Dijelaskannya, Hasta berarti delapan dan Brata berarti sikap atau laku. Sebagai seorang pemimpin, maka setiap orang harus mengerti bagaimana bersikap sebagai pemimpin yang baik.

Disadur dari:
Dewi Ambar sari, Lazuardi Adi Sage
362 Halaman
ISBN : 9798977-16-5
Penerbit : Jakarta Citra, 2006

Babad Dipanegara menurut Peter Carey

Babad berarti membabat untuk mendirikan sesuatu. Babad merupakan salah satu karya sastra Jawa yang bebentuk puisi tembang, dengan kisah yang berlatar belakang sejarah. Pada buku yang berjudul Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedhung Kebo pengarangnya yaitu Peter Carey melakukan penelitian mengenai babad. Carey tidak hanya meneliti satu versi babad tetapi tiga versi dari satu cerita babad yaitu babad yang bercerita mengenai Dipanegara. Dipanegara merupakan salah satu tokoh sejarah yang terkenal dengan perang Jawanya. Dalam buku ini Carey, menganalisa babad dengan pendekatan secara antropologi, yaitu meneliti kebudayaan masyarakat yang terkandung di dalam babad.

Babad Dipanegara dibagi atas tiga kelompok utama yaitu pertama, babad yang ditulis oleh Dipanegara sendiri beserta kerabatnya, selanjutnya disebut sebagai babad otobiografi Dipanegara. Kedua, babad yang ditulis atas perintah Bupati Purwareja, Raden Adipati Cakranegara I, dikenal sebagai buku kedhung kebo. Ketiga, babad yang ditulis di istana di Jawa Tengah, di Yogyakarta dan Surakarta

Keunikan Cerita Babad Otobiografi Dipanegara

Dari ketiga kelompok babad Dipanegara, yang akan dibahas adalah babad otobiografi Dipanegara yaitu, babad yang ditulis oleh Dipanegara sendiri. Babad tersebut memiliki keunikan pada ceritanya. Keunikan yang dimaksud sebagian besar dari mitos yang ditampilkan untuk melegitimasikan kepemimpinan Dipanegara atas perang Jawa dan membenarkan tindakan yang dilakukan sebelum dan sesudah perang Jawa. Babad dipanegara ditulis di Manado selama tiga bulan (13 November 1831-3 Februari 1832). Babad ini menggambarkan sejarah Jawa sebelum kelahiran Dipanegara dan kehidupan serta zaman yang dilalui Dipanegara sampai masa pengasingannya di Manado.

Salah satu keunikan babad ini adalah Dipanegara menyamakan dirinya dengan salah satu tokoh wayang dari kubu Pandawa yaitu Arjuna. Konon, Ratu Kidul memberikan sebuah anak panah Sarotama pada Dipanegara. Pada cerita wayang, sarotama adalah salah satu senjata milik Arjuna. Cerita ini mirip dengan cerita Arjuna yang memperoleh panah pasopati dari tangan Siwa. Hal ini unik karena pada babad yang lain, yaitu versi Cakranegara, dikisahkan bagaimana Cakranegara menyamakan dirinya dengan Bima.

 Salah satu cerita yang memberi pengaruh atau inspirasi bagi Dipanegara, kemungkinan adalah Arjuna Wiwaha. Lakon tersebut dikenal juga sebagai lakon Mintaraga. Di dalam cerita dikisahkan persiapan Arjuna melalui cara pertapaan demi mendapatkan kekuatan yang tidak terkalahkan itu agar ia dapat memerintah dunia sekaligus berjaya atas semua kekuatan jahat. Pada babd Dipanegara ditemukan rujukan pada periode awal sebelum terjadinya perang, adanya upaya mensucikan diri dengan melakukan pertapaan. Konon, Dipanegara sering pergi ke hutan sendirian, untuk bertapa.

Selain itu, hal lain yang cukup unik pada babad ini adalah keberadan Ratu Adil pada sosok Dipanegara. Selama ini, sepanjang abad sering sekali ada yang menganggap dirinya sebagai Ratu Adil, tokoh pada mistik Jawa. Dipanegara konon pernah bertemu dengan Ratu Adil yang kemudian memberi surat perintah untuk berperang. Sejak itu orang menganggap bahwa Dipanegara adalah sang Ratu Adil atau juru selamat. Dipanegara juga menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin agama Islam lewat pembenaran bahwa saat bertemu Ratu Adil, dia ditugaskan memimpin pasukan dengan Al Quran sebagai landasan kekuasaan.
Keunikan lainnya adalah bagaimana Dipanegara mengasosiasikan dirinya sebagai perantara terjadinya penghancuran yang dimaksudkan (pada ramalan Jayabaya terdapat bab dimana orang Jawa diceritakan habis karena peperangan).

Dalam catatan otobiografinya, Dipanegara berusaha melakukan pembenaran akan pemberontakan yang dilakukannya di dalam pandangan dan pengertian kebudayaan dan kosmis Jawa yang tradisional. Dipanegara menyadari bahwa dia bukan pemimpin yang mampu mengusir orang-orang Belanda dari Jawa, tetapi bahwa dia yang akan menjadi penyebab timbulnya suatu masa penghancuran yang mensucikan, yang berlangsung untuk jangka waktu yang singkat saja, yang merupakan pendahuluan zaman pemerintahan yang benar dan adil. Dengan kata lain Dipanegara berusaha melakukan pembenaran diri akan tindakannya, dia berpikir bahwa kejadian tersebut (pemberontakan dan kekalahan) merupakan takdir yang telah digariskan.

Sumber : Indonesiaindonesia.com.

Rabu, 13 November 2013

arjuna wijaya

Kenal dan pernah lihat Patung Kuda Jakarta di sebelah barat daya Monas?    Setiap ke Jakarta, orang selalu ( terutama sopir taxi ) bilang patung itu bernama Patung Kuda. Yang parah lagi ada yang bilang Patung Delman :p.

Patung karya salah satu Seniman-Patung  terbaik negeri ini, Nyoman Nuarta ( GWK, Jalaveva Jayamahe ), sebenarnya mempunyai nama asli Arjuna Wijaya. Patung ini diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1987 sebagai hadiah Gubernur DKI Jakarta kepada warga DKI yang juga bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-42.
Patung ini merupakan salah satu gambaran episode epic besar Barata Yudha, sebuah peperangan dashyat antara keturunan Barata di padang Kurusetra. Terdapat 8 patung kuda yang menarik kereta perang dan di atasnya terdapat dua pria, satu sebagai sais yang lain sebagai ksatria . Sang sais adalah Prabu Kresna, Raja Dwarawati, terlihat dari mahkota raja yang dipakainya, sedangkan yang memegang busur panah dan bersanggul sepit udang adalah Arjuna, salah satu dari Pandawa Lima. Hal ini berdasarkan kisah Barata Yudha dimana Kresna-lah yang ditunjuk Arjuna sebagi sais dalam pertempuran melawan kakaknya Adipati Karna. Patung berdimensi panjang 23 meter dengan ketinggian sekitar 5 meter dan berbobot 3,600 ton ini ada yang mengartikan sebagai Arjuna Sasrabahu ( salah satu titisan Wisnu ) yang melawan Rahwana.
Ada makna dalam yang tersirat dari patung ini. Jumlah patung kuda menggambarkan Astra Brata, 8 pedoman kepemimpinan, sebuah kajian kepemimpinan yang mungkin menjadi dasar kepemimpinan Presiden Soeharto yang terkenal menjunjung tinggi nilai-nila budaya Jawa. Namun yang jelas Asta Brata bukan merupakan asli budaya Jawa tapi berdasarkan salah satu ajaran dari Hindu.
Pedoman yang menjadi pegangan Raja-raja  di Nusantara ini adalah sebagai berikut :
  1. Matahari/Surya : Pemimpin harus mampu memberi semangat dan kehidupan bagi rakyatnya
  2. Bulan/Candra : Pemimpin mampu memberi penerangan serta dapat membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan
  3. Bumi/Pertiwi : Seorang pemimpin hendaknya berwatak jujur, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya
  4. Angin/Bayu : Pemimpin harus dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat
  5. Hujan/Indra : Pemimpin harus berwibawa dan mampu mengayomi dan memberikan kehidupan seperti hujan yang turun menyuburkan tanah.
  6. Samudra/Baruna : Pemimpin harus memiliki pengetahuan luas
  7. Api/Agni : Pemimpin hendaknya tegas dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan
  8. Bintang : Pemimpin harus dapat berfungsi sebagai contoh/tauladan dan panutan bagi masyarakat
Di sebelah selatan patung tersebut juga terdapat prasasti yang berbunyi : “Kuhantarkan kau, melanjutkan perjuangan, mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang tiada mengenal akhir”. Sebuah pesan yang sangat dalam dari Presiden Soeharto bagi pemimpin dan rakyat negeri ini untuk direnungkan dan diilhami.
Semoga saja setiap pemimpin negeri ini ketika melewati patung ini selalu ingat dan akan mengamalkan makna yang harus tersirat tersebut.

Dicopy dari Oggy - engineer. net . Thank's to Oggy