Babad berarti membabat untuk mendirikan sesuatu. Babad merupakan salah
satu karya sastra Jawa yang bebentuk puisi tembang, dengan kisah yang
berlatar belakang sejarah. Pada buku yang berjudul Ekologi Kebudayaan
Jawa & Kitab Kedhung Kebo pengarangnya yaitu Peter Carey melakukan
penelitian mengenai babad. Carey tidak hanya meneliti satu versi babad
tetapi tiga versi dari satu cerita babad yaitu babad yang bercerita
mengenai Dipanegara. Dipanegara merupakan salah satu tokoh sejarah yang
terkenal dengan perang Jawanya. Dalam buku ini Carey, menganalisa
babad dengan pendekatan secara antropologi, yaitu meneliti kebudayaan
masyarakat yang terkandung di dalam babad.
Babad Dipanegara dibagi atas tiga kelompok utama yaitu pertama, babad
yang ditulis oleh Dipanegara sendiri beserta kerabatnya, selanjutnya
disebut sebagai babad otobiografi Dipanegara. Kedua, babad yang ditulis
atas perintah Bupati Purwareja, Raden Adipati Cakranegara I, dikenal
sebagai buku kedhung kebo. Ketiga, babad yang ditulis di istana di Jawa
Tengah, di Yogyakarta dan Surakarta
Keunikan Cerita Babad Otobiografi Dipanegara
Dari ketiga kelompok babad Dipanegara, yang akan dibahas adalah babad
otobiografi Dipanegara yaitu, babad yang ditulis oleh Dipanegara
sendiri. Babad tersebut memiliki keunikan pada ceritanya. Keunikan
yang dimaksud sebagian besar dari mitos yang ditampilkan untuk
melegitimasikan kepemimpinan Dipanegara atas perang Jawa dan membenarkan
tindakan yang dilakukan sebelum dan sesudah perang Jawa. Babad
dipanegara ditulis di Manado selama tiga bulan (13 November 1831-3
Februari 1832). Babad ini menggambarkan sejarah Jawa sebelum kelahiran
Dipanegara dan kehidupan serta zaman yang dilalui Dipanegara sampai masa
pengasingannya di Manado.
Salah satu keunikan babad ini adalah Dipanegara menyamakan dirinya
dengan salah satu tokoh wayang dari kubu Pandawa yaitu Arjuna. Konon,
Ratu Kidul memberikan sebuah anak panah Sarotama pada Dipanegara. Pada
cerita wayang, sarotama adalah salah satu senjata milik Arjuna. Cerita
ini mirip dengan cerita Arjuna yang memperoleh panah pasopati dari
tangan Siwa. Hal ini unik karena pada babad yang lain, yaitu versi
Cakranegara, dikisahkan bagaimana Cakranegara menyamakan dirinya dengan
Bima.
Salah satu cerita yang memberi pengaruh atau inspirasi bagi
Dipanegara, kemungkinan adalah Arjuna Wiwaha. Lakon tersebut dikenal
juga sebagai lakon Mintaraga. Di dalam cerita dikisahkan persiapan
Arjuna melalui cara pertapaan demi mendapatkan kekuatan yang tidak
terkalahkan itu agar ia dapat memerintah dunia sekaligus berjaya atas
semua kekuatan jahat. Pada babd Dipanegara ditemukan rujukan pada
periode awal sebelum terjadinya perang, adanya upaya mensucikan diri
dengan melakukan pertapaan. Konon, Dipanegara sering pergi ke hutan
sendirian, untuk bertapa.
Selain itu, hal lain yang cukup unik pada babad ini adalah keberadan
Ratu Adil pada sosok Dipanegara. Selama ini, sepanjang abad sering
sekali ada yang menganggap dirinya sebagai Ratu Adil, tokoh pada mistik
Jawa. Dipanegara konon pernah bertemu dengan Ratu Adil yang kemudian
memberi surat perintah untuk berperang. Sejak itu orang menganggap
bahwa Dipanegara adalah sang Ratu Adil atau juru selamat. Dipanegara
juga menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin agama Islam lewat
pembenaran bahwa saat bertemu Ratu Adil, dia ditugaskan memimpin pasukan
dengan Al Quran sebagai landasan kekuasaan.
Keunikan lainnya adalah bagaimana Dipanegara mengasosiasikan dirinya
sebagai perantara terjadinya penghancuran yang dimaksudkan (pada ramalan
Jayabaya terdapat bab dimana orang Jawa diceritakan habis karena
peperangan).
Dalam catatan otobiografinya, Dipanegara berusaha melakukan pembenaran akan
pemberontakan yang dilakukannya di dalam pandangan dan pengertian
kebudayaan dan kosmis Jawa yang tradisional. Dipanegara menyadari bahwa
dia bukan pemimpin yang mampu mengusir orang-orang Belanda dari Jawa,
tetapi bahwa dia yang akan menjadi penyebab timbulnya suatu masa
penghancuran yang mensucikan, yang berlangsung untuk jangka waktu yang
singkat saja, yang merupakan pendahuluan zaman pemerintahan yang benar
dan adil. Dengan kata lain Dipanegara berusaha melakukan pembenaran
diri akan tindakannya, dia berpikir bahwa kejadian tersebut
(pemberontakan dan kekalahan) merupakan takdir yang telah digariskan.
Sumber : Indonesiaindonesia.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar